Selasa, 22 Maret 2016

Etika Pancasila



A.    Pengertian Etika
Etika berbeda dengan etiket, etika adalah kajian ilmiah yang terkait dengan etiket atau moralitas, sedangkan etiket itu sendiri secara sederhana dapat diartikan sebagai aturan kesusilaan atau sering disebut sebagai sopan santun.
Secara etimologis (asal kata), etika berasal dari bahasa yunani yaitu ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Istilah ini identik dengan moral yang berasal dari bahasa Latin, mos yang jamaknya mores  yang berarti adat atau cara hidup. Meskipun memiliki kesamaan arti namun dalam pemakaian sehari – hari kedua kata ini digunakan secara berbeda. Moral atau moralitas lebih menunjukkan pada perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika digunakan untuk mengkaji sistem nilai yang ada [Zubair, 1987:13]. Dalam bahasa Arab padanan kata etika adalah akhlak yang merupakan jamak kata khuluk yang berarti perangai (tingkah laku atau tabiat) [Zakky, 2008: 20].
B.     Aliran – aliran Besar Etika
Dalam kajian etika ada tiga aliran / teori besar yakni :
1.      Etika Deontologi
2.      Etika Teleologi, dan
3.      Etika Keutamaan
Setiap aliran memiliki sudut pandang sendiri – sendiri dalam menilai apakah suatu perbuatan dikatakan baik atau buruk.
1.      Etika Deontologi
Etika ini memandang bahwa tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban, aliran ini tidak mempersoalkan dampak dari perbuatan tersebut baik atau buruk. Menurut Immanuel Kant (1734 – 1804), kebaikan adalah ketika seseorang melaksanakan apa yang sudah menjadi kewajibannya. Kant menolak akibat dari suatu tindakan dijadikan sebagai dasar untuk menilai tindakan tersebut, karena akibat tadi tidak menjamin universalitas dan konsistensi dalam bertindak dan menilai suatu tindakan (Keraf, 2002:9).
Kewajiban moral sebagai manifestasi dari hukum moral adalah sesuatu yang sudah tertanam dalam diri setiap pribadi manusia yang bersifat universal. Etika deontologi menekankan bahwa kebijakan / tindakan harus didasari oleh motivasi dan kemauan baik dari dalam diri, tanpa mengharapkan pamrih apapun dari tindakan yang dilakukan (Kuswanjono, 2008:7). Ukuran kebaikan dalam teori deontologi adalah kewajiban, kemauan baik, kerja keras dan otonomi bebas.


2.      Etika Teleologi
Pandangan dalam etika teleologi yaitu bahwa suatu tindakan dilihat berdasarkan tujuan atau akibat dari perbuatan itu. Etika teleologi membantu kesulitan etika deontologi ketika menjawab apabila dihadapkan pada situasi konkrit yakni ketika dihadapkan pada dua atau lebih kewajiban yang bertentangan satu dengan yang lain. Jawaban yang diberikan oleh etika teleologi bersifat situasional yaitu memilih mana yang membawa akibat baik meskipun harus melanggar kewajiban, nilai norma yang lain.
Etika teleologi digolongkan menjadi dua yakni egoisme etis dan utilitarianisme.
a.       Egoisme etis, memandang bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang berakibat baik untuk pelakunya.
b.      Utilitarianisme menilai bahwa baik buruknya suatu perbuatan tergantung bagaimana akibatnya terhadap banyak orang. Dikatakan baik apabila mendatangkan manfaat yang besar dan memberi manfaat bagi sebanyak mungkin orang. Etika utilitarianisme lebih bersifat realistis, terbuka terhadap beragam alternatif tindakan dan berorientasi pada kemanfaatan yang besar dan menguntungkan banyak orang (Wenz, 2001:86).
Etika utilitarianisme ini menjawab pertanyaan etika egoisme, bahwa kemanfaatan banyak orang-lah yang lebih diutamakan. Kemanfaatan diri diperbolehkan sewajarnya, karena kemanfaatan itu harus dibagi kepada yang lain.
Meskipun demikian utilitarianisme memiliki kekurangan, menurut Sonny Keraf (2002: 19-21) mencatat ada enam kelemahan etika ini, yakni :
1.      Adanya ketidakadilan terutama terhadap minoritas.
2.      Masyarakat lebih melihat kemanfaatan dari sisi yang kuantitas – materialistis, kurang mementingkan manfaat yang non-material.
3.      Karena kemanfaatan yang banyak diharapkan dari segi material yang tentu berkaitan dengan ekonomi, maka untuk atas nama ekonomi tersebut hal – hal yang terkait nasionalisme, martabat bangsa akan terabaikan.
4.      Etika utilitarianisme sering melihat kemanfaatan pada jangka pendek, sehingga tidak melihat akibat jangka panjangnya.
5.      Etika utilitarianisme tidak menganggap penting nilai dan norma tapi lebih pada orientasi hasil.
6.      Etika utilitarianisme sulit menentukan mana yang lebih diutamakan antara manfaat yang besar tetapi dirasakan oleh masyarakat yang sedikit atau manfaat yang dirasakan oleh banyak masyarakat meskipun manfaatnya kecil.
Menyadari kelemahan diatas etika utilitarianisme dibagi menjadi dua tingkatan yaitu utilitarianisme aturan dan tindakan. Atas dasar ini maka, pertama setiap kebijakan harus dicek apakah bertentangan dengan nilai dan norma atau tidak, bila bertentangan maka harus ditolak meskipun memiliki manfaat yang besar. Kedua kemanfaatan harus dilihat tidak hanya yang bersifat fisik saja tetapi juga non-fisik. Ketiga terhadap masyarakat yang dirugikan perlu pendekatan personal dan kompensasi yang memadai untuk memperkecil kerugian material dan non-material.
3.      Etika Keutamaan
Etika ini tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan, tidak juga mendasarkan pada penilaian moral pada kewajiban terhadap hukum moral universal, tetapi pada pengembangan karakter moral pada diri setiap individu. Karakter moral ini dibangun dengan cara meneladani perbuatan – perbuatan baik yang dilakukan oleh para tokoh besar. Sementara kelemahan etika ini adalah ketika terjadi dalam masyarakat majemuk, maka tokoh yang dijadikan panutan juga beragam sehingga konsep keutamaan menjadi beragam pula dan keadaan ini dikhawatirkan akan menimbulkan benturan sosial. Akan tetapi kelemahan ini dapat diatasi dengan cara mengarahkan keteladanan tidak pada figur tokohnya tetapi pada perbuatan baik yang dilakukan oleh tokoh itu sendiri, sehingga akan menimbulkan prinsip – prinsip umum tentang karakter yang bermoral itu seperti apa.
C.     Etika Pancasila
Etika pancasila adalah etika yang mendasarkan penilaian baik dan buruk pada nilai – nilai pancasila yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Suatu perbuatan dikatakan baik bukan hanya apabila tidak bertentangan dengan nilai – nilai tersebut namun juga sesuai dan mempertinggi nilai – nilai pancasila tersebut.
            Etika pancasila berbicara tentang nilai –nilai yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia. Nilai yang pertama adalah ketuhanan. Secara hierarkis nilai ini bisa diakatan sebagai nilai yang tertinggi karena menyangkut nilai yang bersifat mutlak. Seluruh nilai kebaikan diturunkan dari nilai ini, suatu perbuatan dikatakan baik apabila tidak bertentangan dengan nilai, kaidah dan hukum Tuhan. Secara empiris dapat dibuktikan bahwa setiap perbuatan yang melanggar nilai, kaidah dan hukum Tuhan baik itu kaitannya dengan hubungan antara manusia maupun alam semesta pasti akan berdampak buruk.
            Nilai yang kedua adalah kemanusiaan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan nilai – nilai kemanusiaan. Prinsip pokok dalam nilai kemanusiaan pancasila adalah keadilan dan keadaban. Karena itu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan nilai – nilai kemanusiaan yang didasarkan pada konsep keadilan dan keadaban.
            Nilai yang ketiga adalah persatuan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila dapat memperkuat persatuan dan kesatuan. Sikap egois dan menang sendiri merupakan perbuatan buruk, demikian pula sikap yang memecah belah persatuan.
            Nilai yang keempat adalah kerakyatan. Dalam kaitan dengan kerakyatan ini terkandung nilai lain yang sangat penting yaitu nilai hikmat /  kebijaksanaan dan permusyawaratan. Kata hikmat / kebijaksanaan berorientasi pada tindakan yang mengandung nilai kebaikan tertinggi. Atas nama kebaikan, pandangan minoritas belum tentu kalah dibandingkan mayoritas. Dengan demikian perbuatan belum tentu baik apabila disetujui / bermanfaat untuk orang banyak, namun perbuatan itu baik jika atas dasar musyawarah yang didasarkan pada konsep hikmat / kebijaksanaan.
            Nilai yang kelima adalah keadilan. Apabila pada sila kedua disebutkan kata adil, maka kata tersebut lebih dilihat dalam konteks manusia selaku individu. Adapun nilai keadilan pada sila kelima ini lebih diarahkan pada konteks sosial. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan prinsip keadilan masyarakat banyak. Menurut Kohlberg (1995: 37), keadilan merupakan kebajikan utama bagi setiap pribadi dan masyarakat. Keadilan mengandaikan sesama sebagai partner yang bebas dan sama derajatnya dengan orang lain.
            Melihat nilai – nilai yang terkandung dalam pancasila, maka pancasila dapat menjadi sistem etika yang sangat kuat, nilai – nilai yang ada tidak hanya bersifat mendasar namun juga realistis dan aplikatif. Nilai – nilai tersebut bila dalam istilah Notonegoro merupakan nilai yang bersifat abstrak umum dan universal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar