A.
Pengertian Etika
Etika
berbeda dengan etiket, etika adalah kajian ilmiah yang terkait dengan etiket
atau moralitas, sedangkan etiket itu sendiri secara sederhana dapat diartikan
sebagai aturan kesusilaan atau sering disebut sebagai sopan santun.
Secara
etimologis (asal kata), etika berasal dari bahasa yunani yaitu ethos yang berarti watak kesusilaan atau
adat. Istilah ini identik dengan moral yang berasal dari bahasa Latin, mos yang jamaknya mores yang berarti adat atau
cara hidup. Meskipun memiliki kesamaan arti namun dalam pemakaian sehari – hari
kedua kata ini digunakan secara berbeda. Moral atau moralitas lebih menunjukkan
pada perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika digunakan untuk mengkaji
sistem nilai yang ada [Zubair, 1987:13]. Dalam bahasa Arab padanan kata etika
adalah akhlak yang merupakan jamak kata khuluk
yang berarti perangai (tingkah laku atau tabiat) [Zakky, 2008: 20].
B.
Aliran – aliran
Besar Etika
Dalam
kajian etika ada tiga aliran / teori besar yakni :
1.
Etika Deontologi
2.
Etika Teleologi,
dan
3.
Etika Keutamaan
Setiap
aliran memiliki sudut pandang sendiri – sendiri dalam menilai apakah suatu
perbuatan dikatakan baik atau buruk.
1.
Etika Deontologi
Etika ini
memandang bahwa tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan itu
sesuai atau tidak dengan kewajiban, aliran ini tidak mempersoalkan dampak dari
perbuatan tersebut baik atau buruk. Menurut Immanuel Kant (1734 – 1804),
kebaikan adalah ketika seseorang melaksanakan apa yang sudah menjadi
kewajibannya. Kant menolak akibat dari suatu tindakan dijadikan sebagai dasar
untuk menilai tindakan tersebut, karena akibat tadi tidak menjamin
universalitas dan konsistensi dalam bertindak dan menilai suatu tindakan
(Keraf, 2002:9).
Kewajiban moral
sebagai manifestasi dari hukum moral adalah sesuatu yang sudah tertanam dalam
diri setiap pribadi manusia yang bersifat universal. Etika deontologi
menekankan bahwa kebijakan / tindakan harus didasari oleh motivasi dan kemauan
baik dari dalam diri, tanpa mengharapkan pamrih apapun dari tindakan yang
dilakukan (Kuswanjono, 2008:7). Ukuran kebaikan dalam teori deontologi adalah
kewajiban, kemauan baik, kerja keras dan otonomi bebas.
2.
Etika Teleologi
Pandangan dalam
etika teleologi yaitu bahwa suatu tindakan dilihat berdasarkan tujuan atau
akibat dari perbuatan itu. Etika teleologi membantu kesulitan etika deontologi
ketika menjawab apabila dihadapkan pada situasi konkrit yakni ketika dihadapkan
pada dua atau lebih kewajiban yang bertentangan satu dengan yang lain. Jawaban
yang diberikan oleh etika teleologi bersifat situasional yaitu memilih mana
yang membawa akibat baik meskipun harus melanggar kewajiban, nilai norma yang
lain.
Etika teleologi
digolongkan menjadi dua yakni egoisme
etis dan utilitarianisme.
a. Egoisme etis, memandang bahwa tindakan yang baik adalah tindakan
yang berakibat baik untuk pelakunya.
b. Utilitarianisme menilai bahwa baik buruknya suatu perbuatan
tergantung bagaimana akibatnya terhadap banyak orang. Dikatakan baik apabila
mendatangkan manfaat yang besar dan memberi manfaat bagi sebanyak mungkin
orang. Etika utilitarianisme lebih bersifat realistis, terbuka terhadap beragam
alternatif tindakan dan berorientasi pada kemanfaatan yang besar dan
menguntungkan banyak orang (Wenz, 2001:86).
Etika utilitarianisme ini menjawab pertanyaan etika
egoisme, bahwa kemanfaatan banyak orang-lah yang lebih diutamakan. Kemanfaatan
diri diperbolehkan sewajarnya, karena kemanfaatan itu harus dibagi kepada yang
lain.
Meskipun
demikian utilitarianisme memiliki kekurangan, menurut Sonny Keraf (2002: 19-21)
mencatat ada enam kelemahan etika ini, yakni :
1.
Adanya
ketidakadilan terutama terhadap minoritas.
2.
Masyarakat lebih
melihat kemanfaatan dari sisi yang kuantitas – materialistis, kurang
mementingkan manfaat yang non-material.
3.
Karena
kemanfaatan yang banyak diharapkan dari segi material yang tentu berkaitan
dengan ekonomi, maka untuk atas nama ekonomi tersebut hal – hal yang terkait
nasionalisme, martabat bangsa akan terabaikan.
4.
Etika
utilitarianisme sering melihat kemanfaatan pada jangka pendek, sehingga tidak
melihat akibat jangka panjangnya.
5.
Etika
utilitarianisme tidak menganggap penting nilai dan norma tapi lebih pada
orientasi hasil.
6.
Etika
utilitarianisme sulit menentukan mana yang lebih diutamakan antara manfaat yang
besar tetapi dirasakan oleh masyarakat yang sedikit atau manfaat yang dirasakan
oleh banyak masyarakat meskipun manfaatnya kecil.
Menyadari kelemahan diatas etika utilitarianisme
dibagi menjadi dua tingkatan yaitu utilitarianisme aturan dan tindakan. Atas dasar
ini maka, pertama setiap kebijakan
harus dicek apakah bertentangan dengan nilai dan norma atau tidak, bila
bertentangan maka harus ditolak meskipun memiliki manfaat yang besar. Kedua kemanfaatan harus dilihat tidak
hanya yang bersifat fisik saja tetapi juga non-fisik. Ketiga terhadap masyarakat yang dirugikan perlu pendekatan personal
dan kompensasi yang memadai untuk memperkecil kerugian material dan
non-material.
3.
Etika Keutamaan
Etika ini tidak mempersoalkan akibat
suatu tindakan, tidak juga mendasarkan pada penilaian moral pada kewajiban
terhadap hukum moral universal, tetapi pada pengembangan karakter moral pada
diri setiap individu. Karakter moral ini dibangun dengan cara meneladani
perbuatan – perbuatan baik yang dilakukan oleh para tokoh besar. Sementara
kelemahan etika ini adalah ketika terjadi dalam masyarakat majemuk, maka tokoh
yang dijadikan panutan juga beragam sehingga konsep keutamaan menjadi beragam
pula dan keadaan ini dikhawatirkan akan menimbulkan benturan sosial. Akan
tetapi kelemahan ini dapat diatasi dengan cara mengarahkan keteladanan tidak
pada figur tokohnya tetapi pada perbuatan baik yang dilakukan oleh tokoh itu
sendiri, sehingga akan menimbulkan prinsip – prinsip umum tentang karakter yang
bermoral itu seperti apa.
C.
Etika Pancasila
Etika pancasila adalah etika yang
mendasarkan penilaian baik dan buruk pada nilai – nilai pancasila yaitu
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Suatu perbuatan
dikatakan baik bukan hanya apabila tidak bertentangan dengan nilai – nilai
tersebut namun juga sesuai dan mempertinggi nilai – nilai pancasila tersebut.
Etika
pancasila berbicara tentang nilai –nilai yang sangat mendasar dalam kehidupan
manusia. Nilai yang pertama adalah ketuhanan. Secara hierarkis nilai ini bisa
diakatan sebagai nilai yang tertinggi karena menyangkut nilai yang bersifat
mutlak. Seluruh nilai kebaikan diturunkan dari nilai ini, suatu perbuatan
dikatakan baik apabila tidak bertentangan dengan nilai, kaidah dan hukum Tuhan.
Secara empiris dapat dibuktikan bahwa setiap perbuatan yang melanggar nilai,
kaidah dan hukum Tuhan baik itu kaitannya dengan hubungan antara manusia maupun
alam semesta pasti akan berdampak buruk.
Nilai
yang kedua adalah kemanusiaan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai
dengan nilai – nilai kemanusiaan. Prinsip pokok dalam nilai kemanusiaan
pancasila adalah keadilan dan keadaban. Karena itu perbuatan dikatakan baik
apabila sesuai dengan nilai – nilai kemanusiaan yang didasarkan pada konsep
keadilan dan keadaban.
Nilai
yang ketiga adalah persatuan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila dapat
memperkuat persatuan dan kesatuan. Sikap egois dan menang sendiri merupakan
perbuatan buruk, demikian pula sikap yang memecah belah persatuan.
Nilai
yang keempat adalah kerakyatan. Dalam kaitan dengan kerakyatan ini terkandung
nilai lain yang sangat penting yaitu nilai hikmat / kebijaksanaan dan permusyawaratan. Kata
hikmat / kebijaksanaan berorientasi pada tindakan yang mengandung nilai
kebaikan tertinggi. Atas nama kebaikan, pandangan minoritas belum tentu kalah
dibandingkan mayoritas. Dengan demikian perbuatan belum tentu baik apabila
disetujui / bermanfaat untuk orang banyak, namun perbuatan itu baik jika atas
dasar musyawarah yang didasarkan pada konsep hikmat / kebijaksanaan.
Nilai
yang kelima adalah keadilan. Apabila pada sila kedua disebutkan kata adil, maka
kata tersebut lebih dilihat dalam konteks manusia selaku individu. Adapun nilai
keadilan pada sila kelima ini lebih diarahkan pada konteks sosial. Suatu
perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan prinsip keadilan masyarakat
banyak. Menurut Kohlberg (1995: 37), keadilan merupakan kebajikan utama bagi
setiap pribadi dan masyarakat. Keadilan mengandaikan sesama sebagai partner yang bebas dan sama derajatnya
dengan orang lain.
Melihat
nilai – nilai yang terkandung dalam pancasila, maka pancasila dapat menjadi
sistem etika yang sangat kuat, nilai – nilai yang ada tidak hanya bersifat
mendasar namun juga realistis dan aplikatif. Nilai – nilai tersebut bila dalam
istilah Notonegoro merupakan nilai yang bersifat abstrak umum dan universal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar